Total Tayangan Halaman

Jumat, 29 April 2011

Kontekstualisasi Ushul Fiqh dalam Konstalasi Politik Hukum Islam di Indonesia

I. PENDAHULUAN

Dalam rentang sejarah Islam telah muncul berbagai corak pemikiran. Namun dalam pandangan Muhammad Abed al-Jabiri agaknya cukup sah untuk memberikan kesimpulan bahwa corak pemikiran yang paling berkembang adalah fiqh. Karenanya menurut ulama kontemporer asal Maroko itu, peradaban Islam adalah “peradaban fiqh” (hadharah al-fiqh).[1] Kesimpulan ini hampir sama sahihnya ketika menyebut peradaban Yunani Kuno sebagai “peradaban filsafat” dan peradaban Eropa modern sebagai “peradaban ilmu dan teknik”. Produk-produk pemikiran fiqh menempati posisi tertinggi dan tidak tertandingi oleh produk-produk lainnya baik dari segi kuantitas maupun kualitas.[2]

Sebagai sebuah produk, maka fiqh membutuhkan kaidah-kaidah yang berfungsi sebagai “pagar” agar dalam proses penggalian hukum para fuqaha terhindar dari kekeliruan. Meskipun para faqih tidak mengabsolutkan fiqh-fiqhnya, namun usaha-usaha mensakralisasi hasil pemikiran mereka berkembang luas terutama setelah fiqh berhasil “diteorisasikan” sebagaimana yang disebut al-Jabiri dengan fiqh nadzri (teoretis), tidak lagi sebagai fiqh amali (aplikatif).[3] Selain itu dalam konteks terminologis istilah-istilah fiqh seringkali disepandankan dengan syari’at, hukum Islam, atau bahkan tema-tema derivatif dari fiqh seperti qanun atau hudud.

Kaidah-kaidah untuk menjauhi dari kekeliruan ber-istinbath itu yang diberikan oleh ilmu al-ushul al-fiqh sebagaimana kegunaan manthiq dalam filsafat dan ilmu nahw dalam bahasa Arab.[4] Dengan demikian, perjalanan fiqh seharusnya sejalan dengan perkembangan ilmu al-ushul al-fiqh. Namun begitu, bagaimana mendialektikkan keduanya memerlukan perjalanan teoretis yang tidak mudah dan telah terjadi pada masa-masa yang panjang sebelumnya. Di sinilah penting untuk mengetahui bagaimana perjalanan ushul fiqh dari masa ke masa dan kajian yang dikembangkan di dalamnya.

II. RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini akan mencoba membahas dan menjawab mengenai beberapa pokok masalah berikut ini:

1. Bagaimana perbedaan antara fiqh, syari’at dan hukum Islam?

2. Bagaimana historisitas ilmu ushul fiqh?

3. Bagaimana kajian terhadap ushul fiqh?

III. PEMBAHASAN

1. Fiqh, Syari’at dan Hukum Islam

Secara terminologis fiqh merupakan kosa kata Arab yang berarti al-fahm (pemahaman) atau al-’ilm (pengetahuan). Fiqh oleh Ibnu Manzur dinyatakan sebagai al-‘ilmu bi al-syay’ wa al-fahm lah (pengetahuan tentang sesuatu dan pemahaman mengenainya).[5] Semula kata fiqh digunakan oleh orang-orang Arab untuk menyebut seseorang yang ahli dalam membedakan unta betina yang sedang birahi dari unta yang sedang hamil. Dalam konteks ini penyebutan fiqh merepresentasikan sebuah pengetahuan yang umum dan tidak terbatas dalam konteks hukum Islam sebagaimana juga dinyatakan di banyak tempat di dalam al-Qur’an.[6]

Seiring berjalannya waktu, fiqh kemudian lebih dikenal sebagai hasil dari aktivitas manusia dan khususnya para sarjana yang berusaha menderivasi hukum dari wahyu Tuhan.[7] Jadi fiqh ibarat sebuah “anak” yang “diturunkan” dari wahyu Tuhan yang luas, karena tentunya wahyu Tuhan tidak hanya mencakup tentang hukum-hukumnya saja sebagai bagian dari aspek Islam. Dengan demikian, jika fiqh merupakan ilmu tentang “hukum-hukum syari’at”[8] dan menjadi salah satu aspeknya saja, maka dibutuhkan definisi lain tentang apa yang disebut sebagai syari’at[9] itu; karena dua kata ini seringkali disejajarkan penggunaannya.

Menjawab paradoks tersebut Muhammad Daud Ali memberikan uraian mengenai pembedaan antara fiqh dan syari’at sebagai berikut ini:[10]

1. Syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Maksud dari pembicaraan mengenai syari’at berarti menyangkut tentang wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Sementara itu fiqh terdapat dalam kitab-kitab fiqh yang berarti pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman itu.

2. Syari’at bersifat fundamental dan memiliki ruang lingkup yang lebih luas karena ke dalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga akidah dan akhlak. Fiqh bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hokum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum.

3. Syari’at adalah ciptaan Tuhan dan ketentuan Rasul-Nya dan karena itu berlaku abadi, sedang fiqh adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.

4. Syari’at hanya satu, sedang fiqh mungkin lebih dari satu, seperti terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah madzahib (jamak dari madzhab).

5. Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fiqh menunjukkan keragamannya.

Dengan demikian, syari’at berkaitan dengan semua ketetapan hukum yang ditentukan langsung oleh Allah yang kemudian dimaktubkan dalam al-Qur’an dan penjelasan Nabi saw sebagai Rasul-Nya yang saat ini dikumpulkan dalam kitab-kitab hadits. Sedangkan fiqh merupakan hasil ijtihad para fuqaha atas syari’at tersebut.[11] Penjelasan di atas memang cukup meyakinkan meskipun masih menyisakan pertanyaan. Ini dikarenakan seolah-olah jika menggunakan waktu sebagai kategorisasi atas apa yang disebut syari’at dan fiqh dapat disimpulkan bahwa syari’at terjadi semasa Nabi saw dan dinisbatkan pada diri Nabi sendiri sebagai penerima wahyu dan barulah fiqh sesudah masa itu. Lalu apakah “seluruh ketetapan hukum” dalam arti faktual yang terjadi di masa Nabi saw dipandang sebagai syari’ah yang abadi?

Karena itulah sesungguhnya membedakan syari’ah dan fiqh dalam konteks ini perlu mempertimbangkan sejauhmana aplikasi konsep keduanya. Jika syari’ah dikonsepkan sebagai sisi hukumnya, maka ia berarti fiqh. Sedangkan jika syari’ah dipahami sebagai sebuah nilai yang terkandung dalam setiap hukum Tuhan maka di sanalah terkandung sisi-sisi eternal dari Islam itu. Beberapa pemikir seperti Hasbi ash-Shidieqy cenderung tidak terlalu mempersoalkan perbedaan kata ini dan menganggap fiqh Islam dan syari’at Islam serupa dengan terminologi lain yaitu hukum Islam yang akan menjadi pembahasan selanjutnya.[12]

Hukum Islam adalah sebuah kosa kata dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari dua akar kata, yaitu hukum dan Islam.[13] Kata hukum Islam digunakan sebagai padanan dari Islamic law dalam tradisi akademik Barat. Berbeda dengan titik pijak hukum Islam yang dari “wahyu”, hukum dalam tradisi Barat berangkat dari kebutuhan masyarakat untuk menjembatani kebiasaan mereka dalam sebuah keteraturan dan ketertiban. John Gilissen dan Frits Gorle memberikan empat prasyarat utama dalam pembicaraan mengenai kebiasaan hukum ini.[14] Pertama, kebiasaan itu tidak berlaku dalam konteks kebiasaan individual melainkan kebiasaan kemasyarakatan. Kedua, kebiasaan itu menyangkut suatu perbuatan (komisi) atau penahanan diri (omisi). Ketiga, kehidupan ini harus dialami oleh masyarakat sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan mengikat, dan keempat, kebiasaan itu dikukuhkan oleh penguasa umum.[15]

Tentang kata Islamic law, para akademisi Barat menggunakannya baik untuk mentransliterasi kata syari’at maupun fiqh. Namun kecenderungan utama mereka menggunakannya untuk syari’at Islam sebagai bentuk lain dari “hukum ketuhanan” yang membedakannya dari sistem-sistem hukum yang didasarkan atas pertimbangan manusia. Noel J. Coulson melihat syari’at itu dimaknainya sebagai sistem yang kaku dan kekal selain sebagai penjabaran kemauan Tuhan.[16] Meskipun demikian, agaknya Coulson tetap berpendapat bahwa sistem hukum muncul karena kehendak manusia sehingga di sinilah cukup terasa bagaimana pengaruh kuat pandangan positivistik akademisi Barat, meskipun yang sedang diperhatikan adalah hukum agama.[17]

Jika mengurai dari keterangan di atas, maka hukum Islam yang digunakan untuk mentransliterasi Islamic law memang lebih dekat dengan pemahaman syari’at (Islam) dalam arti hukum-hukum ketuhanan secara luas, atau apapun yang “dibebankan” kepada manusia. Maka di Indonesia ketika mendengar kata “syari’at Islam” sebagian masyarakat merasa kata-kata itu tidaklah tepat karena mereka memahami syari’at sebagai “nilai-nilai ideal yang abadi” meskipun pada kenyataanya yang dibahas adalah aspek fiqh. Sementara itu untuk menggambarkan aspek hukum Islam sebagai derivasi dari syari’at yang eternal itu seharusnya digunakan fiqh Islam dari bahasa Arab al-fiqh al-Islamy. Dalam literatur Barat (bahasa Inggris) lebih tepat digunakan “Islamic Jurisprudence” sebagaimana pengertian jurisprudence dalam tradisi hukum di Amerika sebagai “legal science” atau “science of law” yang memiliki spesifikasi kajian hukum.[18]

2. Sejarah Ushul Fiqh

Terdapat dua pengertian yang dapat diuraikan dari ushul fiqh, yaitu pengertian secara idhafi dan pengertian secara ilmiah. Pengertian secara idhafi merupakan pengertian yang diambil dari rangkaian kata yang membentuk sebuah istilah khusus. Sedangkan pengertian secara ilmiah merupakan pengertian yang diambil dari rangkaian kata yang mewakili sebuah disiplin ilmu tertentu.[19] Secara idhafi, ushul fiqh terdiri dari kata al-ushul (jamak dari ashl) dan al-fiqh (masdar dari faqiha-yafqahu). Ashl dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai angkal, dasar atau asal, yaitu ma yubna ‘alayhi al-syay’ (sesuatu yang diatasnya didirikan sesuatu yang lain). Dengan demikian ushul fiqh dapat diartikan sebagai “sesuatu yang diatasnya dibangun fiqh” atau “dasar-dasar atau sendi-sendi yang di atasnya didirikan hukum-hukum syara’ ‘amali”.[20]

Menurut Muhammad Abu Zahrah, ilmu ushul fiqh tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan ilmu fiqh kendatipun fiqh dibukukan terlebih dahulu daripada ushul fiqh. Karena dengan tumbuhnya fiqh maka di dalamnya pasti terdapat metode yang digunakan untuk menggali ilmu tersebut yang tidak lain adalah ushul fiqh itu.[21] Jika merujuk pada perspektif ini maka ushul fiqh –secara praktis- telah dilaksanakan oleh generasi muslim awal, baik di masa Nabi saw. maupun para sahabat.

Namun sebuah karya ushul fiqh yang sistematis baru lahir setelah dibukukan oleh Imam asy-Syafi’i dalam kitab al-Risalah. Imam Syafi’i dianggap berhak disebut sebagai orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh meskipun sebelumnya Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik telah mengeskplorasi metode ijtihad yang dituangkan dalam karya-karyanya. Meskipun dengan argumentasi yang lemah, orang-orang Syi’ah Imamiyah menganggap bahwa orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Muhammad al-Baqir bin Ali ibn Zainal Abidin yang kemudian diikuti oleh putranya Imam Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq.[22]

Sesudah pembakuan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, ilmu ushul fiqh kemudian berkembang dan meluas. Perkembangan ini dibarengi dengan berbagai perdebatan-perdebatan terkait ilmu baru itu. Pertama, beberapa ahli fiqh ada yang merinci kaidah-kaidah Imam Syafi’i yang dipandang masih global. Kedua, beberapa yang lain mengambil sebagian besar kaidah-kaidah Imam Syafi’i tetapi menambahi dengan yang lain. Kelompok ini seperti misalnya ulama Hanafiyah yang menambah kaidah istihsan dan ‘urf serta ulama Malikiyyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i tetapi kemudian menambahkan ijma’ penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik dan juga menambahkan istihsan, mashalih mursalah dan adz-dzara’i yang dibatalkan oleh Imam Syafi’i.[23]

Setelah munculnya para Imam madzhab dan aliran fiqh sudah semakin terpolarisasi dan akhirnya terjadi “madzhabisasi”, kajian ushul fiqh oleh para fuqaha menurut Abu Zahrah terkonsentrasi menjadi dua kelompok.[24] Pertama, aliran teoretis. Aliran ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa memiliki tujuan untuk menguatkan atau membatalkan praktik-praktik yang telah dilakukan oleh madzhab-madzhab. Aliran ini disebut juga sebagai ushul al-syafi’iyyah atau ushul al-mutakallimin.[25] Kedua, aliran praktis. Aliran ini bertujuan memberikan legitimasi atas hasil-hasil ijtihad terhadap masalah-masalah furu’. Para ulama dalam aliran ini mencoba untuk memberikan legitimasi atas hasil-hasil ijtihad mereka terhadap masalah-masalah fiqh dengan membatalkan ataupun menguatkan ulama madzhab yang mendahuluinya atau membuat legitimasi yang baru. Salah satu aliran ini dipegangi oleh para ulama hanafiyah.[26]

Selain dua kelompok tersebut sebenarnya ada kelompok ketiga yaitu kelompok yang mengombinasikan metode dua aliran tersebut, yaitu aliran konvergensi.

Antara abad ke-2 H hingga abad ke-7 perkembangan ushul fiqh sangat dipengaruhi oleh paradigma Imam Syafi’i yang literalistik dalam arti dominatifnya pembahasan tentang teks. Paradigma ini sangat menaruh perhatian terhadap unsur-unsur gramatikal maupun sintaksis dan mengabaikan pembahasan mengenai maksud dasar wahyu yang ada di balik teks. Paradigma ini bertahan sendirian hingga abad ke-8 H dan muncul penawaran baru dari asy-Syatibi yang menguraikan teori maqashid asy-syari’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (Syari’). Meskipun terjadi paradigm shift –meminjam bahasa Thomas Kuhn- paradigma asy-Syatibi merupakan pelengkap bagi paradigma lama yang telah dibangun.[27]

Konsep mashlahah ini sebenarnya sebuah konsep yang telah lama ada dan biasanya disandarkan pada Imam Malik dan pengikutnya, kemudian dibangun oleh Syafi’iyyah (seperti al-Ghazali), Hanbali (seperti ath-Thufi, dan para hakim-hakim lain yang memiliki latar belakang berbeda. Karya asy-Syatibi meskipun sebelumnya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Turku dan Urdu, namun karya-karyanya jarang sekali diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Negara Eropa.[28] Menurut Muhammad Khalid Mas’ud salah satu karya pertama yang mencoba untuk menghadirkan pemikiran asy-Syatibi dalam ranah Eropa adalah buku Islamic Legal Philoshophy yang terbit pada tahun 1977.[29]

Di abad modern, paradigma asy-Syatibi digunakan untuk merevitalisasi ushul fiqh. Wael B. Hallaq membagi pembaharu di abad modern ini ke dalam dua tipe. Tipe pertama adalah penganut aliran utilitarianisme. Kelompok ini sebenarnya tidak menawarkan paradigma baru tetapi melakukan upaya revitalisasi terhadap prinsip maslahah yang ditawarkan asy-Syatibi melalui teori maqashid-nya. Termasuk ke dalam tipe ini adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdul Wahab Khallaf, ‘Allal al-Fasi, dan Hasan Turabi.[30] Sementara itu tipe yang kedua adalah aliran religious liberalism. Kelompok ini menanggap bahwa prinsip mashlahah klasik tidak lagi memadai untuk membuat hukum Islam mampu bertahan di dunia modern. Dalam kelompok ini di antaranya adalah Said al-Asymawi, Fazlurrahman, dan Muhammad Syahrur.[31]

Tawaran-tawaran baru dalam paradigma berpikir dalam studi-studi keislaman ini banyak sekali mengundang reaksi. Meskipun tidak kurang yang mendukungnya, namun tidak sedikit pula yang mengritik karena dianggap tidak memiliki kerangka teoretik ilmu-ilmu ushul fiqh sebelumnya. Seolah-oleh pengembangan yang dilakukan terjadi secara revolutif, bukan evolutif. Bahkan beberapa di antaranya dianggap “mengekor” pada paradigma Barat dan sekadar merenovasi metodologi yang dibangun dalam tradisi filsafat di Barat, seperti strukturalisme, kritik ideologi, kritik sejarah, dan seterusnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh mengalami 4 masa perkembangan. Pertama, periode awal sejak masa Nabi saw dan para sahabat. Perkembangan ushul fiqh di sini bukan berarti menempatkan ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tertentu, tetapi didasarkan pada perkembangan fiqh sendiri. Sebagaimana diketahui sahabat-sabahat Nabi saw, seperti ‘Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, dan ‘Ali Ibn Abi Thalib seringkali menyampaikan pendapat tentang hukum. Kedua, adalah periode ketika Imam Syafi’i melakukan “sistematisasi” atas bidang keilmuan ini, dan mulailah dikenal ushul fiqh sebagai bidang keilmuan tertentu dalam Islam. Ketiga, munculnya Imam asy-Syatibi dengan al-muwafaqat-nya yang melakukan “pergeseran paradigma” dari ushul fiqh yang bercorak lughawiyah ke ma’nawiyah meskipun sesungguhnya sebagai tawaran baru. Keempat, perkembangan ushul fiqh kontemporer yang ditandai dengan berbagai teori yang muncul seperti tawaran dari Syahrur dan Thaha, yang kemudian oleh Wael Hallaq dipisahkan dalam kelompok religious liberalism dan religious utilitarianism.

3. Kajian Ushul Fiqh

Dalam studi ilmu keislaman, terdapat tiga wilayah ilmu yang kerap dikemukakan oleh para ulama, yaitu ilmu aqidah (‘ilm al-kalam), ilmu fiqh (syari’ah), dan ilmu tasawuf-akhlak (‘ilm al-tashawwuf wa al-akhlaq). Dikotomi ini sifatnya adalah untuk memudahkan identifikasi karena para ulama yang lain juga memiliki versinya sendiri-sendiri. Misalnya saja Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din-nya membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syara’ dan ilmu non syara’. Di era kontemporer Mahmud Syaltut membagi menjadi dua bagian pula yaitu aqidah dan syari’ah. Aqidah itu adalah sebutan lain untuk al-fiqh al-akbar dengan pemahaman yang luas dan syari’ah untuk al-fiqh al-asghar dengan ruang lingkup hukum Islam.[32]

Ushul fiqh dan fiqh memiliki keterkaitan yang kuat karena bagaimanapun fiqh ditetapkan atas dasar ushul fiqh. Sebagian mutakallimin telah berpendapat bahwa kehadiran ushul fiqh telah memberikan faedah yang besar yaitu pengetahuan tentang dalil-dalil syar’iyyah dimana disandarkan hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban.[33] Paling tidak terdapat tiga pokok kajian dalam ushul fiqh yang di antaranya merupakan hasil sistematisasi dan yang lain selalu berkembang hingga hari ini, yaitu mengenai:

1. Hukum-hukum Syari’at (al-ahkam asy-syar’iyyah)

Mengenai pembahasan ini dibagi ke dalam 4 hal, yaitu al-hukm , al-hakim, al-mahkum fiih, dan mahkum ‘alaih.[34] Al-hukum adalah “khitab Syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.” Dalam bentuk pilihan dan ketetapan disebut sebagai hukum taklifi, sementara dalam bentuk ketetapan disebut hukum wadh’i.[35] Hukum taklifi dibagi ke dalam wajib, mandub, haram, karahah, mubah dan rukhshah. Sementara itu hukum wadh’i dibagi ke dalam sabab, syarath, mani’, shah, bathal dan fasid.

Sementara itu al-hakim adalah Allah swt. sebagai “pembuat hukum”. Perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, terutama kelompok Ahl Sunnah dengan Mu’tazilah mengenai cara memahami maksud Syari’ ini; yang pertama berpendapat hanya dapat dilakukan oleh Rasul, sementara yang lain berpendapat akal manusia dapat mencapainya. Pembahasan selanjutnya mengenai mahkum fiih atau mahkum bih; objek hukum atau sesuatu yang dikehendaki oleh Syar’i untuk dilakukan atau ditinggalkan. Yang terakhir adalah mahkum ‘alaih; sebagai subjek hukum atau orang yang dituntut oleh Syari’ untuk berbuat.

2. Dalil-dalil (al-adalah)

Dalil (al’adalah) dalam pengertian ushul fiqh adalah “sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara pasti (qath’i) atau dugaan kuat (dzanni).”[36] Mengenai dalil-dalil ini terdapat perbedaan antara yang disepakati yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas, dan terdapat 7 di antaranya menjadi perdebatan, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, mazhab shahabi, dan sadd za-Zari’ah. Meskipun masih menjadi perdebatan, dalil-dalil ini seringkali dipersamakan dengan mashadir al-ahkam al-syar’iyyah.[37]

3. Metode-metode Istinbath (turuq al-istinbath)

a. Kaidah-kaidah kebahasaan (qawa’id al-lughawiyah)

Kaidah kebahasaan ini digunakan untuk memahami teks-teks dari sumber utama hukum secara “sematik” yang akan digunakan dalam penalaran fiqh. Mengenai hal ini para ulama telah membuat kategori-kategori lafal atau redaksi, yaitu; masalah amar, nahi dan takhyir; pembahasan lafal dari segi umum dan khusus; pembahasan lafal dari segi mutlaq dan muqayyad; pembahasan lafal dari segi mantuq dan mafhum, dari segi jelas dan tidak jelasnya, serta dari segi hakikat dan majaznya.

b. Kaidah-kaidah Ushuliyah at-Tasyri’iyyah (qawa’id ushuliyah at-tasyri’iyyah)

Kaidah-kaidah ini digunakan sebagai cara untuk memperoleh hukum dengan cara lebih mempertimbangkan aspek maqashid asy-syari’ahnya. Dalam pandangan asy-Syatibi, maqashid as-syari’ah ini dibagi dalam tiga kelompok atau tingkatan, yaitu dharuriyah (yang jika diabaikan maka akan mendatangkan kerusakan/mafsadat), hajiyat (jika diabaikan tidak mendatangkan kerusakan, tetapi kesulitan/ tsafaqah), dan tahsiniyat (komplemen dari dua tingkatan sebelumnya).

Sebagaimana telah sedikit disinggung, dalam kajian ushul fiqh pembahasan penting biasanya menyangkut dua aspek ketika usaha-usaha untuk menemukan hukum sesuatu dilakukan. Dua aspek itu adalah (1) pendekatan dalam istinbath hukum, dan (2) metode ijtihad yang digunakan. Dua aspek ini merupakan sarana penting bagi para fuqaha dalam menentukan hukum dan di sisi lain terkadang memberikan perbedaan yang cukup signifikan terhadap hasil pemikiran antara satu faqih dengan lainnya.[38]

Dalam konteks pendekatan, Ali Hasaballah sebagaimana dikutip oleh Imam Syaukanie memaparkan terdapatnya dua pendekatan dalam istinbath, yaitu (a) pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan; dan (b) pendekatan melalui pengenalan makna atau maksud syari’ah (maqashid al-syari’ah).[39] Kaidah-kaidah kebahasaan digunakan karena menyangkut nash (teks) syari’ah, sementara pendekatan melalui maqashid al-syari’ah digunakan karena menyangkut kehendak Syar’i yang dapat diketahui melalui kajian maqashid ash-shari’ah.[40] Atau boleh disebut sebagai pertama pendekatan dengan al-qawaid al-lughawiyyah dengan mendekati sumber hukum Islam dari sisi kebahasaan dan kedua sebagai pendekatan makna atau al-qawa’id al-ma’nawiyyah dengan mendekati sumber hukum Islam dari sisi makna dan tujuan yang terkandung di balik teks.[41]

Pendekatan bahasa ini oleh al-Jabiri disinggung dalam metode bayani yang meskipun teks merupakan hal paling otoritatif namun tidak berarti nalar burhani ditiadakan. Karena itu dua pendekatan istinbath di atas tercakup dalam metode bayani ini. Dalam cara yang kedua yaitu pendekatan makna biasanya dilalui dalam beberapa tahap. Pertama, berpegang pada tujuan pokok diturunkannya sebuah teks. Pada tahap ini istinbath didasarkan pada kepentingan untuk merealisasikan lima prinsip universal (mabadi’ al-khamsah), yaitu melindungi agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifdz al-maal). Kedua, berpegang pada illah teks. Illah merupakan keadaan yang melekat pada teks sebagai dasar pijakan dari penetapan sebuah hukum. Cara ini kemudian melahirkan qiyas[42] dan istihsan.[43]

Ketiga, berpegang pada tujuan sekunder teks sebagai sarana pendukung tercapainya tujuan pokok. Sedikit berbeda dengan istinbath yang rata-rata mencari legitimasi dalil dalam teks, tetapi ini dilakukan di luar teks (istidlal). Tahap ini melahirkan teori-teori seperti mashalih mursalah[44], ‘urf[45], dan sadd al-dzari’ah.[46] Sedangkan yang keempat berpegang pada diamnya Syari’ yang biasanya digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak ada ketetapannya dalam teks dan tidak dapat menggunakan qiyas. Tahap ini melahirkan teori seperi istishab.[47]

Mengenai penjelasan masing-masing teori akan dibahas oleh makalah-makalah berikutnya, namun pada intinya kajian ushul fiqh membangun dasar-dasar untuk menetapkan sebuah hukum. Meskipun teks dipandang sebagai bagian penting dalam kajian ushul fiqh namun tidak selamanya otoritas bertumpu pada teks sebagaimana perkembangan-perkembangan modern dalam studi-studi keislaman.

Dalam perspektif al-Jabiri masih ada metode lain yang cukup dipegang pula oleh umat Islam dalam menentukan sikap-sikap keislamannya. Selain bayani yang dibangun atas dasar teks masih terdapat metode burhani dan irfani. Sekalipun metode bayani paling banyak memiliki pengikut namun metode-metode yang lain juga telah memberikan warna menarik dalam perdebatan wacana keislaman. Epistemologi burhani merupakan sebuah epistemologi yang dibangun dengan dasar akal, rasio yang dilakukan melalui dalil-dalil logika. Sementara itu epistemologi irfani meletakkan pengetahuan atas dasar kasyf, tersibaknya tabir-tabir rahasia Tuhan.[48]

Dalam perkembangan modern, kajian ushul fiqh juga mengalami perkembangan-perkembangan dalam kajiannya. Yang paling mencolok dari perkembangan itu adalah cara untuk memahami realitas sebagai basis dalam penentuan sebuah hukum. Misalnya Rahman menawarkan teori Double Movement sebagai langkah strategis untuk memahami al-Qur’an secara komprehensif dengan cara; pertama, berupaya memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur’an diturunkan dan kedua, upaya menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks pembaca al-Qur’an era kontemporer sekarang ini.[49] Paradigma lain juga ditawarkan oleh Mahmud Muhammad Taha dengan teori naskh-nya dan Muhammad Syahrur dengan “teori batas”nya (nazhariyyah al-hudud).

Dengan demikian, kajian-kajian baru terhadap ushul fiqh sebenarnya memperkaya khazanah uhsul fiqh yang telah ada dan bukan berarti mengeliminasi teori-teori lama. Selain itu, perkembangan ushul fiqh tentu dihadirkan sebagai upaya membangun sebuah hukum yang shalih likulli zaman wa makan untuk memenuhi tujuan-tujuan syari’at.

IV. KESIMPULAN

Dari paparan di atas, terdapat tiga uraian yang dapat disimpulkan sebagai berikut ini:

1. Syari’at, fiqh, dan hukum Islam merupakan tiga kata yang seringkali disepadankan padahal ketiga kata ini memiliki konsep dan definisi yang berbeda. Syari’at merupakan representasi dari “kehendak Tuhan” yang sifatnya adalah ideal dan abadi. Fiqh merupakan derivasi dari syari’at yang merupakan hasil pemikiran manusia. Sedangkan hukum Islam merupakan transliterasi dari islamic law dalam tradisi keilmuan Barat yang mencerminkan sebuah hukum-hukum yang dinisbahkan kepada agama Islam dan memiliki sistem yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Nabi.

2. Secara praktik, ushul fiqh sebenarnya telah ada sejak masa Nabi karena bagaimanapun para sahabat yang sedang tidak bersama Nabi maka mengambil keputusan berdasarkan ijtihad mereka sendiri. Namun para akademisi lebih banyak merujuk ushul fiqh resmi dideklarasikan ketika Imam asy-Syafi’i mensistematisasikan metode berpikir untuk mengambil sebuah hukum dalam karyanya ar-Risalah. Sistematika yang dibuat oleh Imam Syafi’i banyak dijadikan rujukan bagi para ulama sesudahnya (antara abad ke-2 H hingga ke-7 H), dan paradigma ushul fiqh baru muncul setelah asy-Syatibi menawarkan konsep maqashid asy-syari’ah. Setelah enam abad kemudian muncullah para pemikir yang menawarkan metode-metode ushul fiqh baru sebagai penyikapan atas modernitas, baik yang melakukan revitalisasi gagasan-gagasan lama yang kontekstual maupun paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan kajian-kajian ushul fiqh lama.

3. Kajian terhadap ushul fiqh dapat bertumpu pada tiga hal utama. Pertama, Hukum-hukum Syari’at (al-ahkam asy-syar’iyyah) yang terdiri dari 4 bahasan utama, yaitu al-hukum, al-hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih. Kedua, al-‘adalah, yang terdiri dari empat metode yang tidak diperdebatkan dan 7 lainnya yang masih menjadi perdebatan. Ketiga, metode-metode istinbath (turuqul al-istinbath); yang terdiri dari kaidah lughawiyah dan kaidah ushuliyah/tasyri’iyah.

Demikian makalah ini dapat kami sampaikan dengan berbagai kekurangan yang ada di dalamnya. Kekurangan yang paling tampak jelas adalah kurangnya referensi-referensi yang dapat membantu menguraikan kajian ushul fiqh secara lebih komprehensif.

*) Makalah ini dipresentasikan oleh mahasiswa Najib mahasiswa Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.



[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (terj.) Imam Khoiri, “Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius”, Yogyakarta: Ircisod, 2003, hlm. 157.

[2] Berbagai buku yang bertemakan fiqh menurut al-Jabiri tidak mungkin dikalkulasi dari kajian-kajian komprehensif (muthawwalat), ringkasan (mukhtasar), penjelasan (syarh) dan penjelasan terhadap penjelasan (syuruh asy-syuruh). Al-Jabiri, Ibid.

[3] Al-Jabiri, Ibid., hlm. 160.

[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, cet. 9, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm. 5.

[5] Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu, 2000, hlm. 51.

[6] Musahadi, Ibid., hlm. 51-52.

[7] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004, hlm. 1.

[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, 1978, hlm. 11.

[9] Secara etimologis, syari’ah (“jalan ke mata air”), berasal dari akar kata syara’a, “yang ditetapkan atau didekritkan.” Di dalam al-Qur’an, kata syari’ah ditemukan 1 kali (45:18) dengan pengertian sebagai jalan yang mesti diikuti. Kata lain syir’ah ditemukan dengan pengertian jalan (5:48). Sedangkan akar kata syara’a muncul 2 kali dengan kaitan Tuhan sebagai subjek (42:13) dan orang-orang yang membangkang agama Tuhan (7:163). Dalam Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Op. Cit., hlm. 2.

[10] Diadopsi dari Muhammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I): Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. 2, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hlm. 52-53.

[11] Muhammad Daud Ali, Ibid., hlm. 53.

[12] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 29.

[13] Secara etimologis, para pakar tidak mampu memberikand definisi yang komprehensif mengenai hukum. Karena itulah Immanuel Kant menyindir, “…Noch suchen die Juristen eine Definition zu iherm Begriffe von Recht” (…masih juga para sarjana hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum). Baca CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 34-36.

[14] John Gilissen dan Frits Gorle, Historische Inleiding tot het Recht, (terj.) Freddy Tengker, “Sejarah Hukum: Suatu Pengantar”, Bandung: PT Refika Aditama, 2007, hlm. 24-25.

[15] John Gilissen dan Frits Gorle, Ibid.

[16] Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, (terj.) Hamid Ahmad, “Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah”, Jakarta: P3M, 1987, hlm. 5.

[17] Noel J. Coulson, Ibid.

[18] Sebagai rujukan Wahbah Zuhaili memberikan judul kitabnya Ushul al-Fiqh al-Islamy (Damaskus: Darr al-Fikr, 1986) dan Muhammad Syahrur, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islamy, (terj.) Sahiron Syamsuddin, “Metodologi Fiqh Islam Kontemporer”, cet. 5, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008.

[19] Imam Syaukanie, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006, hlm. 114.

[20] Imam Syaukanie, Ibid., hlm. 114-115.

[21] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Op. Cit., hlm.8.

[22] Muhammad Abu Zahrah, Ibid., hlm. 12-13. Pendapat Syi’ah Imamiyah ini disandarkan pada perkataan Ayatullah Sayyid Hasan ash-Shaddiq. Tetapi pernyataan ini bagi Abu Zahrah tidak menunjukkan kebenaran pendapat mereka. Lihat lebih lanjut Abu Zahrah, Ibid.

[23] Muhammad Abu Zahrah, Ibid., hlm. 15-16.

[24] Muhammad Abu Zahrah, Ibid., hlm. 17.

[25] Muhammad Abu Zahrah, Ibid., hlm. 17-19.

[26] Muhammad Abu Zahrah, Ibid., hlm. 17-18.

[27] Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya Pada Fiqh Kontemporer”, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ibid., hlm. 118-119.

[28] Muhammad Khalid Masud, Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law, New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1997, hlm. viii.

[29] Ibid.

[30] Amin Abdullah, Op. Cit., hlm. 119-120.

[31] Amin Abdullah, Ibid., hlm. 120-121.

[32] Imam Syaukanie, Op.Cit., hlm. 118.

[33] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., hlm. 9.

[34] Al-Ghazali menyebut empat hal ini sebagai rukun; rukun awal adalah hukum, rukun kedua adalah al-hakim yaitu al-Mukhatib, rukun ketiga adalah mahkum ‘alaih yaitu mukallaf, dan rukun keempat adalah mahkum fih yaitu al-fi’il. Al-Ghazali, Al-Mushtashfa min al-‘Ilmi al-Ushul, jilid 1, Beirut: Mu’assasah Risalah, 1997, hlm. 157-162.

[35] Khallaf, hlm. 142.

[36] Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit. hlm. 13.

[37] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 43.

[38] Imam Syaukanie, Op. Cit.., hlm. 42.

[39] Imam Syaukanie, Ibid., hlm. 43.

[40] Imam Syaukanie, Ibid.

[41] Agus Moh. Najib, “Dalalah an-Nash: Upaya Memperluas Maksud Syari’ Melalui Pendekatan Bahasa, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Op. Cit., hlm. 96-97.

[42] Qiyas adalah menyamakan hukum sebuah masalah dengan masalah lain yang telah memiliki ketetapan hukum karena memiliki ‘illat yang sama.

[43] Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari qiyas jali ke qiyas khafi. Sebagai contoh dalam Hanafiyah apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian maka telah masuk pula hak pengairan, air minum, hak lewat tanah wakaf dan sebagainya. Ini tidak bias dilakukan dengan menqiyaskan wakaf dengan jual beli karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya. Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit., hlm. 79-80.

[44] Mashalih mursalah adalah kebaikan yang tidak ada ketetapan hukum salah dan benar baik di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.

[45] ‘urf adalah segala hal yang telah dikenal manusia dan dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi tradisi. Di sini ada ‘urf yang shahih dan fasid.

[46] Sadd-adzhari’ah merupakan larangan terhadap sebuah perbuatan yang mubah agar tidak terjerumus terhadap perbuatan lain yang diharamkan.

[47] Istishab adalah menetapkan sebuah hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya.

[48] Baca lebih lanjut dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1991.

[49] Imam Syaukanie, Op. Cit., hlm. 136-137.