Total Tayangan Halaman

Selasa, 15 Juni 2010

KONTRA TERORISME ALA PESANTREN

Oleh: Imam Yahya, Dr. M.Ag.
(Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Makalah disampaikan pada acara Halaqoh: Pesantren Kontra Terorisme,
Rabu 2 Juni 2010 di Semarang.)


Banyak di antara umat Islam yang tidak sepakat dengan terorisme dikaitkan dengan Pesantren, apalagi kalangan pesantren salaf yang selama ini mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman murni di kalangan nahdliyyin. Namun fakta membuktikan bahwa terorisme yang berkembang selam ini di pesantren tidak lepas dari sistem pendidikan di “pesantren” yang tersebar di seantero negeri tercinta ini.
Sebut saja misalnya trio bom Bali (Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera) yang telah dieksekusi di penghujung tahun 2009 lalu, yang pernah mengaji di pesantren “Al-Islam” Ngruki Sukoharjo Solo. Dua di antaramya Amrozi dan Ali Ghufron betul-betul tercatat sebagai alumni Pondok Pesantren tersebut.Fakta inilah yang pada akhirnya menjadikan wacana Pesantren bertautan dengan wacana terorisme yang banyak dikaji belakangan ini.
Data penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semaranga tahun 2008, ada tiga model pesantren yang tersebar di Jawa Tengah; ada pesantren tradisional, modern dan pesantren salafi.
Tentu saja, serangkaian tragedi pemboman di Bali ini merupakan pukulan yang dahsyat bagi bangsa Indonesia. Mungkin kalau tidak ada tragedi Bali dan rentetan pemboman lainnya, isu terorisme di Indonesia akan selalu diabaikan dan UU Terorisme tidak pernah dilegalkan. UU Terorisme selama ini selalu menjadi perdebatan di kalangan masyarakat karena dianggap akan mengembalikan kekuasaan militer dan mengancam kebebasan yang selama ini baru dinikmati masyarakat Indonesia. Peraturan ini dikhawatirkan akan merenggut demokrasi yang baru dibangun dan coba ditegakkan di bumi Indonesia tercinta ini.
Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim terbanyak di dunia mempunyai peran dan posisi yang sangat penting dalam rangka memberantas terorisme dengan cara menegakkan dan menjalankan kehidupan demokrasi dalam sistem negaranya. Peran ini bisa menjadi model dan rujukan negara-negara Islam yang kebanyakan sangat minim dan rendah responnya terhadap upaya penanganan terorisme.

A. Konsep Dasar Terorisme
1. Pengertian Terorisme
Belum ada pengertian final tentang terorisme, baik di kalangan muslim maupun bangsa barat pada umumnya. Dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dinyatakan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Untuk itulah maka muncul Undang-Undang atau Perarturan Pemerintah Pengganti UU yang secara tegas menangani terorisme dengan memasukkan ke dalam tindak pidana khusus, yakni tindak pidana terorisme. Tentu pemerintah Indonesia tidak sendiri, karena Perpu ini merupakan rativikasi peraturan sejenis yang berlaku di tingkat internasional.
Menurut Departemen Pertahanan USA, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancamana dengan kekerasan dan paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama dan idiologi. Atau bisa diartikan sebagai tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara.
Bahkan belakangan terorisme diartikan dengan sangat luas dengan segala tindakan atau ucapan yang membuat orang lain takut. Wal hasil terorisme menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan bagi siapa saja baik yang melakukan maupun orang yang mengalami tindakan terorisme. Gambaran ini menjadikan negara dalam hal ini pihak yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan yakni militer merasa sangat diperlukan dalam upaya menangani berbagai upaya terorisme.
Dalam perspektif Islam garis keras, terorisme diartikan sebagai (irhab), menggetarkan musuh. Untuk itu mereka mengartikan terorisme menjadi bagian dari jihad fi sabilillah, menuju ridho Allah SWT. Tidak mengagetkan manakala sebagian para pelaku teroris di Indonesia menganggap dirinya sebagai mujahid fi sabilillah.
Namun sebenarnya terorisme bukanlah ajaran Islam. Meski banyak dari umatnya melakukan teror, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa Islam adalah sumber terorisme. Al-Qur’an, sebagai sumber paling utama dalam Islam, sangat jelas sekali tidak pernah mengajarkan terror. Bahkan ayat-ayat perang yang ada dalam Al-Qur’an mempunyai visi mengakhiri perang.
Ummat Islam harus memahami ajarannya dengan baik. Hal yang tidak sejalan dengan Islam harus dijauhi, misalnya kekerasan. Kekerasan tidak pernah diabsahkan oleh agama Islam. Kekerasan hanya dibolehkan karena unsur defensif. Pemahaman agama harus lebih serius dan perlu ada penelusuran yang lebih sejalan dengan nilai-nilai universal, yaitu kemaslahatan, keadilan, kesetaraan, kesejahteraan dan sejenisnya .
Beberapa istilah yang dipakai untuk membahasakan kekerasan yang bersifat dovensif, diantaranya; al-Jihâd, al-Qitâl, al-Harb, Satiyyah, Ghazwah, al-’Askariyyah, al-Jaisy, al-Jund, Para penulis menggunakan pilihan kata-kata ini sesuai dengan tujuan penulisan masing-masing.
Secara umum penggunaan istilah itu dapat dikategorisasikan menjadi dua rumpun; pertama untuk menunjukkan aktifitas yang dilakukan oleh kelompok tentara dalam konteks Islam; seperti al-Jihâd, al-Qitâl, al-Harb, Satiyyah, dan Ghazwah. Beberapa kata ini memberi banyak inspirasi perjuangan dalam konteks mempertahankan Islam dari berbagai musuh-musuh di luar Islam.
Sementara rumpun kedua tetap menunjukkan pada eksistensi lembaga yang mengelola kekerasan. Istilah yang dipakai antara lain; al-Jaisy, al-’Askariyyah, dan al-Jund. Penggunaan istilah ini sesuai dengan visi yang dikembangkan yakni visi kebangsaan dan kenegaraan.
Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak m+endapatkan pembalasan yang kejam.
Para penulis barat menyatakan bahwa terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Maka menurut pandangan Samuel P Huntiington, pengarang The Clash of Civilization, terorisme merupakan permasalahan dua kelompok yang saling memiliki kepentingan.
Terorisme itu berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan karena terorisme bisa dilakukan secara terorganisir dan dalam waktu lama. Dalam perspektif perang biasanya perang bersifat tiba-tiba dan targenya adalah militer. Sedangkan aksi terorisme dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelaku teroris, layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Meski tidak ada kesepakatan tentang definisi terorisme, tetapi terorisme bisa dirasakan oleh setiap orang yang mengalaminya. Sumua yakin terorisme menakutkan dan perlu dihilangkan. Namun persoalannya adalah mengapa teorisme terjadi di tengah masyarakat muslim Indonesia yang secara umum bernaung ke dalam dua ormas besar keagamaan yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
2. Terorisme dan Pengaruh Global
Untuk itu setidaknya saya mencatat ada lima faktor dari terorisme, yaitu: Pertama; faktor modernisasi, globalisasi, dan perubahan masyarakat yang mulai mengenal teknologi, sehingga mempercepat tingkat pengetahuan masyarakat. Kedua; budaya kekeraan. Di mana masyarakat semakin terbudayakan dengan kekerasan dan kriminalitas, misalnya dengan tayangan di televisi dan film-film yang bernuansa kekerasan. Ketiga; faktor pemiskinan, penindasan dan peminggiran, yang memunculkan reaksi dengan tindakan terror. Jika kita melihat pelaku bom bunuh diri selama ini adalah para kuli bangunan dan sejenisnya. Keempat; lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Dr. Azahari yang bisa leluasa melakukan teror di Indonesia adalah bukti lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kelima; pemahaman keagamaan yang sempit. Mereka memahami agama hanya dari sudut ajaran kematian dan kemartiran. Hal ini adalah kedangkalan teologis karena agama tidak hanya mengajarkan kematian, tetapi juga hidup secara damai.

B. KONSEP UMUM TENTANG PESANTREN

1) Unsur Pesantren
Pondok Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang asli ditemukan dan dikembangkan di Indonesia. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri.
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam baik yang formal maupun non-formal. Pondok pesantren di Jawa itu terdiri dari beberapa macam, baik dilihat dari modern vzs tradisional. Dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Pesantren semakin bervariasi. Akan tetapi yang lebih utama adalah Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1. Kyai: yakni sosok yang paling berperan dalam sebuah pondok pesantren. Peranan ini bisa kerena melanjutkan para pendahulunya, maupun karena membuka pondok sendiri. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, faktor kyai sangat substansial dalam rangka pendirian, pembangunan, dan perkembangan sebuah pesantren.
Secara etimologis Kyai berasal dari bahawa jawa, bukan bahasa Arab. Dalam bahasa Arab setara dengan Syaikh, yakni orang-orang yang dianggap mulia dan alim. Namun dalam tradisi Jawa, kyai tidak selamanya identi dengan seorang ulama besar. Karena di kalangan kraton, kyai juga diberikan kepada benda-benda antik dan keramat, peninggalan masa lampau, atau bisa juga dinerikan kepada orang-orang yang secara fisik sudah tua. Sebut saja misalnmya di Keraton Surakarta ada Kyai Slamet, yakni kerbau bule yang mempunyai nilai keunikan. Ada juga nama Kyai Mojo, sebuah pedang yang dinilai punyai kramat.
b.Masjid: masjid identik dengan tempat shalkat berjamaah, khususnya shalat jumat. Biasanya masjid itu otomatis bisa diselenggarakan jumatan, sedangkan masjid yang agak kecil yang tidak dipakai untuk shalat jumat disebut denbgan mushalla atau langgar. Di peantren masjid tidak hanya digunakan untuk shalat berjamaah, tetapi masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan seperti mengaji, musyawarah, studi club dan sebagainya. Meski demikian masjid menjadi syararat bverdiorinya sebuah pesantren. .
c. Santri:
Santri adalah panggilan bagi murid-murid yang ada di pesantren. Sanbtri di sepantren mempunyai banyak perbedaan dengan siswz ysng dearda di sekolahan. Santri biasanya sangat patu kepada gurunya, tidak saja dalam persoalan pelajaran, tetapi juga berkaitan dengan perilaku keseharian.
d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitan klasik meruap[akan Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning .
Pada mulanya kitab-kitab itu berwarna kuning sebagai ciri al-kutub al-shara, namun karean perkembangan waktu kitab tidak harus berwarna kuning tetapi juga bisa putih sebagimana penerbit melakukan sekarang ini. Kitab ini biasanya ”gundul” tanpa harakat.
Di samping lima unsur di atas, persoalan lain yang perlu mendapatperhatian adalah kurikulum pesantren yang semakin hari semakin menantang. Tapi yang kita harapkan sebenarnya bukan hanya perbaikan kurikulum, tapi koreksi dan kritik ke dalam pesantren dan masayarakat. Apakah pola keberagamaan yang kita ajarkan selama ini memang sudah tepat. Jadi, misi ini tidak hanya harus dilakukan pesantren, sebab pesantren hanyalah salah satu institusi pendidikan. Soal corak keberagamaan kita adalah tanggung jawab semua kaum muslim. Jadi pertanyaannya bisa diperluas: apakah perilaku kita sebagai muslim sudah mencerminkan ajaran-ajaran dan sistem nilai agama yang menghendaki toleransi dan kedamaian?
Kurikulum pesantren memang masih perlu dipertanyakan. Tapi itu hanyalah salah satu aspek perubahan dalam masyarakat. Yang lebih penting adalah implimentasi perubahan mental attitude atau sikap mental, dan paradigma keberagamaan kita semua. Kita diharapkan kembali ke corak Islam ala Indonesia yang dikenal menghargai keragaman. Sekarang, berbeda pendapat soal agama saja sudah dianggap kafir. Dan sayangnya, ada lembaga keagamaan yang justru memotori pengkafiran itu.

2. Perkembangan Pesantren di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pondok Pesantren tercatat cukup mewarnai dalam ikut membentuk mental bangsa. Sejak sebelum era kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif terutama sebagai basis pergerakan santri pejuang. Telah banyak putera pesantren yang gugur di medan perjuangan demi membela dan mempertahankan kemerdekaan. Di samping itu, pesantren juga berfungsi sebagai cagar budaya dalam gejolak antara kebudayaan asli dan dan kebudayaan barat.
Sampai pada perkembangan berikutnya, pesantren masih tetap menunjukkan fungsinya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, lembaga dakwah dan pengkaderan ulama', sebagai lembaga pelayanan, pengarahan, bimbingan dan pengembangan kemasyarakatan, serta sebagai lembaga perjuangan.
Dalam pengelolaannya, searah perkembangan zaman, Pondok Pesantren dituntut untuk selalu dinamis dan mengikuti perkembangan, sehingga pada taraf berikutnya timbul pembagian tugas dan peran antara beberapa Pondok Pesantren secara fungsional sesuai dengan visi dan misi pengembangannya.
Selama ini pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Tesis Gus Dur yang menyatakan bahwa pesantren sebagai sub-kultur masyarakat tetaplah relevan, meski banyak juga pesantren yang berguguran tidak bisa bertahan sebagai sebuah sub kultur..
Dalam pandangan Gus Dur, ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik.
Persoalany sekarang ini adalah banyaknya ulama atau kyai melakukan hubungan patronase dengan partai politik dan pemerintah pada umumnya. Dengan ikut serta berpolitik maka seorang kyai harus masuk dalkam struktur kepartaian yang secara otomatis kyai tidak lagi indepemndent dalam memberikan fatwa maupun nasihat kepada orang lain. Namun sebaliknya apabila tidak mengikuti perhelatan politik, kyai tidak lagi mempunyai kesempatan besar dalam melakukan perubahan di daerahnya.
Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di pesantren, merupakan warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.
Sedangkan elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren, seperti yang mengajarkan prinsip al-tawasut, tawazun, dan tasamuh.
Pesantren dikenal sebagai tempat belajar agama dari sumber-sumber aslinya yakni teks-teks berbahasa Arab. Namun kata ”pesantren” yang asal katanya adalah ”santri” sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid bukanlah berasal dari kata Arab. Ada dua klemungkinan asal-usul kata santri; pertama santri berasal dari kata sansekerta ”sastri” kata sansakerta yang berarti melek huruf. Hal ini sangat wajar karena santri atau pesantgren berisi orang-oraanmg yang mempunyai pengetahuan tinggi. Santri dengan berbagai kategorisasinya merupakan sekelompok anak atau siswa yang sedang menuntut ilmu dengan serius.
Sedang yang kedua, santri berasal dari bahas Jawa cantrik yang artinya seorang yang selalu menemani gurunya atau mengikuti gurunya di manapun dan kapanpun. Sehingga cantrik akan bisa melakukan transfer ilmu kapanpun bisa dilakukan.
Dari pengertian ini maka karakter pendidikan yang diterapkan di pesantren tidak saja berdimensi formal, layaknya sekolah-sekolah klasikal sepereti sekarang ini, tetapi lebih dari itu, pendidikan pesantren sekaligus pendidikan informal dan pendidikan non formal. Di dalam pesantren seorang santri akan mengikuti sekolah fromal diniyyah, seperti kelas Madrasaha Awwalihan Diniyyah, Madrasaha wustha Diniyyah, dan Madrasaha ulya Diniyyah. Bahkan terkadang juga menggunakan istillah Muallimin-muallimat dengan jangka waktu 6 tahun.
Tidak hanya sekolah formal, bagi santri, kyai atau bu Nyai adalah sosok orang tua mereka yang sangat disegani, sehingga apa yang menjadi perintah kyai harus dilaksanakan. Maka banyak dari santri yang ikut di rumah kyai layaknya sebagai anaknya. Di samping itu, santri juga diberi ketrampilan lain yang bersifat pengembangan ketrampilan dan pengembangan bakat lainnya, seperti peternakan, pertanian, dan ketrampilan home industri.
Untuk itu setelah selesai mengikuti pendidikan pesantren, santri diharapkan bisa hidup di tengah masyarakat dengan segala pernikpernik kehidupoannya. Santri tidak saja dibekali dengan pengetahuaan dan ilmu-ilmu sosial keagamaan tetapi juga dengan dengan ilmu-ilmu sosial umum sekaligus praktek kerhifudpan kemasyarakatan. Bahkan di berbagai persantren santri dibekali dengan kemampuan dalam menghadapi IT seperti penggunaan internet dan jaringannya dan dunia global pada umumnya. Dalam berbagai diskusi keagamaan santri juga sudah mampu bagaimna mengakses internet sebagai bagaian dalam pengembangan kemampuan santri.
Pesantren sebagai institusi, tentunya juga termasuk dalam lingkup dunia global yang tidak bisa lepas dari pengaruh luar dirinya. Derasnya arus informasi lewat media, hubungan antar-negara, antar-institusi, antar-organisasi, seperti jalur sumbangan dan bantuan dengan berbagai motifnya, tentu ikut mempengaruhi dunia pesantren. Pesantren sedikit banyaknya tidak bisa lepas dari pengaruh global itu. Pesantren yang tidak mampu mempertahankan jati diri sub kulturnya, akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka dapat saja berada dalam jaringan yang punya egenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara “konvensional”.
Artinya, kalaupun sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa disebabkan oleh dua faktor. Faktor internal berupa menurunnya fungsi sub kultur pesantren, sehingga masing-masing unsur pesantren tidak mampu merepresentasikan dirinya dengan baik. Sementara faktor eksternal seperti jejaring dengan dunia luar baik konteks lokal maupun global sangat berpengaruh pada perjalanan sebuah institusi pesntren. Lemahnya peran kiai atau kepemimpinan pesantren yang selama ini dikenal independen, bisa berakibar buruk bagi sebuah pesantren. Dulu, pesantren benar-benar bagaikan sebuah kerajaan kecil. Tapi sekarang, banyak pesantren yang tidak lagi menjadi panutan bagi masyarakat sekitar.