Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Desember 2009

PENGARUH POLITIK TERHADAP FATWA ULAMA:

(Analisis Fatwa Keharaman PLTN Jepara)
Oleh: Imam Yahya,1

A.LATAR BELAKANG
Fatwa haram terhadap pembangunan PLTN di wilayah Jepara yang dikeluarkan oleh Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jepara beberapa minggu terakhir, menuai badai pro-kontra. Pasalnya Fatwa LBM menyangkut persoalan PLTN ini, berkaitan dengan kebijakan negara yakni pendirian reaktor Nuklir di desa Balong Kecamatan Kembang Kab Jepara. Proyek ini diyakini dapat memasok kebutuhan listrik di negeri tercinta Indonesia.
Kelompok yang pro PLTN Jepara diwakili oleh kalangan birokratik baik di tingkat pusat maupun daerah. Karena apabila PLTN ini bisa didirikan di Jepara maka keuntungan yang diambil oleh pemerintah sangat signifikan dalam mendongkrak income negara. Tak kurang dari Menteri Ristek Prof. Dr. Kusmayanto Kadiman, sangat antusias dalam melakukan sosialisasi pembangunan PLTN di Jepara ini. Bahkan terselenggaranya Bahtsul Masail yang dilakukan oleh Lembaga Bahtsul Masail juga mendapat suntikan dana dari Menteri Ristek.
Sementara kelompok yang kontra PLTN diwakili oleh kalangan muda yang bergerak di berbagai lembaga swadaya masyarakat dan kampus. Masyarakat Reksa Bumi (Marhem) misalnya yang dikomandani oleh Lilo Sunaryo PhD, dengan lantang menyuarakan bahaya dan kesengsaraan korban PLTN di berbagai negara di dunia. Begitu juga dengan Lembaga kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) yang secara intens melakukan perang terhadap rencana pembangunan PLTN Muria Jepara.
Bagi kelompok ini gambaran PLTN Muria sangat menakutkan. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa sejak muncul 1972, saat terbentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Tiga tahun kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan Batan bekerja sama dengan NIRA, Italia, diperoleh 14 calon lokasi, dan lima di antaranya di Jateng. Dari 14 lokasi itu, 11 lokasi di pantai utara Jawa dan tiga di pantai selatan (www:batan.go.id).
Pada 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (Bakoren) memutuskan Batan melaksanakan studi kelayakan, dan terpilihlah NewJec (New Japan Engineering Consultan Inc), anak perusahaan Mitsubishi Heavy Industries (MHI) untuk melaksanakn studi tapak. Akhir 1993, NewJec melaporkannya ke Batan. Dan Ujung Lemah Abang Desa Balong, Jepara, disebut sebagai titik paling aman dari ancaman guncangan gempa bumi.
Tak hanya dari sisi lokasi, mereka juga mendekatinya dari sisi kebijakan energi. Informasi Menristek, di atas kertas harga listrik PLTN sedikit lebih murah (3,5-4 sen dolar AS per KWH) dari sumber konvensional juga menjadi rujukan, termasuk tinjauan manfaat, bahaya, dan risiko.
Pro kontra dalam proses pendiriasn PLTN Muria Jepara ini sesungguhnya merupakan representasi masyarakat dalam memandang pembangunan PLTN Muirisa Jepara. Kekhawatiran rakyat dalam pembangunan PLTN ini patut diperhatikan karena apabila di kemudian hari, terjadi mrabahaya sebagaimana terjadi di Chernobil maupun Jepang belakangan ini.
Perdebatan tentang manfaat atau maslahat tidaknya PLTN inilah yang memicu LBM PCNU Jepara berikhtiar untuk melihat nya dari kacamata Fiqh lewat forum bahtsul Masail. Hal ini wajar karena masyarakat Jepara merupakan masyarakat pantai utara yang mempunyai pemahaman keagamaan yang kuat, sehingga pendekatan keagamaan ini semakin signifikan dalam rangka mensosialisasikan hasil-hasil tehnologi mutahir seperti listrik bertenaga nuklir.
Fatwa haram yang dikeluarkan Lembaga Bahtsul Masil Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Jawa Tengah, merupakan jawaban dari ikhtiar melakukan sosialisasi PLTN di tengah masyarakat. Ijtihad para kyai NU se Kab Jepara ini pada akirnya menjadi polemik baik di kalangan elit NU maupun di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak masyarakat yang gundah dengan lahirnya fatwa haram ini. Bahkan banyak juga yang memandang lucu atas munculnya fatwa haram ini. Apa korelasi antara tenaga Nuklir dengan pandangan fiqih klasik.
Untuk menjelaskan korelasi ini maka dibutuhkan pendekatan hukum akan lahirnya fatwa haram terhadap rencana pembangumna PLTN. Munculnya fatwa hukum Islam tidaklah tumbuh di tengah hutan belantara, tetapi fatwa hukum Islam muncul karena adanya berbagai rentetan kejadian yang melatar belakanginya. Dalam kaidah fiqhiyyah dikenal kaidah Taghyiru al-ahkam bi taghoyyuri al-azminati wal amkan, hukum itu berubah disebabkan perubahan zaman dan tempat (Ibn Qayyim, tt: III/3).
Hukum Islam sebagai hukum yang diambil dari nilai-nilai yang terkandung dalam dalil-dalil agama, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan lokus dan waktu. Tidak ada unifikasi hukum Islam secara massal, yang ada adalah kesamaan substansi terhadap hukum suatu perbuatan. PLTN Jepara misaklnya yang diharamkan oleh para ulama, bukan berarti nuklir diharamkan, tetaspi yang diharamkan adalah rencana pembangun PLTN di Jepara pada waktu sekarang ini. Sebenarnya yang haram bukan nuklirnya, tapi ekses negatif yang diperhitungkan akan terjadi karena ketidakmampuan pemerintah. Sedangkan memudaratkan masyarakat, hukumnya haram, baik dari nuklir maupun dari faktor lain.
Untuk itu penelitian ini bermaksud untuk mengetahui latar belakang munculnya fatwa haram sekaligus mengetahui konsistensi lembaga bahtsul Masail NU dalam merumuskan fatwa-fatwa haram.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini; Apa yang menyebabkan pembanguna PLTN Muria Kabupaten Jepara diharamkan ? dan Bagaimana konsistensi LBM dalam merumuskan fatwa-fatwa hukum ?.
Pro dan kontra terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Muria kini telah memasuki ranah agama, setelah sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa haram terhadap PLTN, 1 September 2008.
Pengurus cabang NU Jepara, tuan rumah bahtsul masail yang mencetuskan fatwa haram itu, menolak pembangunan PLTN di Semenanjung Muria. Sementara itu, Pengurus Besar NU berpendapat nuklir—bukan PLTN—bersifat mubah (boleh, netral). Jadi, menghadapi penolakan warga NU di Jepara terhadap pembangunan PLTN di Semenanjung Muria, PB NU mengusulkan supaya PLTN dibangun di tempat lain saja.


B. KERANGKA TEORI
1. Hukum Islam berkembang sesuai dengann tempat dan tempatnya
Tak seorang pun ahli hukum yang mampu memberikan rumusan tentang hukum secara definitif, mengingat ruang lingkupnya yang terlalu luas dan banyak aspek yang dikandungnya. Karena itu seorang tokoh hukum barat terkemuka dan ahli filsafat hukum pernah mengungkapkan bahwa tak seorangpun ahli hukum yang mampu membuat definisi tentang hukum (Rasyidi, 1993: 29). Maka wajar bila dalam literatur barat tidak ditemukan suatu rumusan hukum yang definitif dan universal (Honrnby, 1993:29).
Secara terminologis (istilahi) hukum yang dituliskan dalam penelitian ini adalah hukum Islam. Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law”. Noel J. Coulson misalnya dalam The History of Islamic Law mengartikan hukum Islam sebagai implementasi dari doktrin-doktrin yang diwahyukan Tuhan dalam kondisi sosial saat itu (Coulson, 1964:8). Sedangkan Josept Schacht mengartikan hukum Islam sebagai keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan setiap umat Islam dalam segala aspek hidupnya (Schacht,1964:6).
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al-hukm” tanpa mengikutkan kata “al-Islam”. Istilah al-hukm atau hukum Islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushûl (ushûli) dengan ulama fiqh (baca : fuqaha). Jumhur ulama ushûl misalnya, mengartikan hukum sebagai:
“khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’) (Hasaballah,tt:365).
Yang dimaksud dengan khithab di sini adalah inti dari khitab Allah (al-nushush al-syariyyah) yakni kalam nafsi yang tidak berlafadz dan tak bersuara yang hanya dapat diketahui melalui indikasi dalalah lafdhiyyah dan maknawiyyah, bukan pengaruhnya (atsar) (Mahalli, 1937: I/47-48). Adapun sifat-sifat yang berupa perbuatan-perbuatan mukallaf, yang merupakan hasil atau pengaruh dari al-nushush al-syar’iyyah seperti wajib, sunnah, wajib, makruh dan haram, tidak masuk dalam definisi tersebut. Karena sesunggunhnya khitab Allah itu merupakan kalamullah. Contohnya adalah hukum “ijab” merupakan inti dari khitab “if’al” (Zuhaili,1981:I/38).
Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqiin menyatakan bahwa taghyiru al-ahkam bi tagayyuri al-azminati wa al-amkinati, hukum itu berubah sesuai dengan waktu dan tempat di mana hukum itu berada. Dengan demikian hukum Islam senantiasa dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakatnya (Ibn Qayyim, tt: III/3).

2. Hukum terpengaruh Politik
Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya (Mahfud, 1998:74). Untuk itu fatwa lembaga bahtsul masail juga tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Banyaknya kepentingan dalam perencana pembangunan PLTN Jepara, menyebabkan rencana pembangunan PLTN ini mengalami berbagai kendala. Tidak sedikit tokoh-tokoh lokal yang ikut larut dalam pro-kontra pembangunan PLTN, akibatnya konflik antar sesama warga sangat memungkinkan.
Konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia, termasuk fatwa yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat seperti NU.
Lahirnya fatwa hukum yang mengharamkan rencana pembengunan PLTN tidak bisa dipisahkan dari situasi kondisi di mana konteks sosial politik itu terjadi.
3.Pendekatan Fikih dalam Politik
Banyak masyarakat yang menyikapi rencana pembangunan PLTN Muria dengan penuh keheranan terhadap fatwa haram yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Jepara, Jawa Tengah, atas rencana pembangunan PLTN Muria. Betapa tidak, kiai-kiai "kampung" yang ada di kota kecil itu berani memberikan hukum terhadap sebuah proyek besar yang selama ini menjadi perdebatan petinggi-petinggi dunia.
Namun perlu diingat bahwa tradisi ilmiah di kalangan kyai pesantren adalah melihat persoalan dengan pendekatan fiqh (Haidar, 1988). Rencana pembangunan PLTN Muria yang dihukumi haram didasarkan kepada pendekatan fiqh, bahwa segala selalu diukur dengan mashlahat.
Jika persoalan dikembalikan ke titik nol -terbebas dari kepentingan apa pun- yang dilakukan PC NU Jepara itu bukanlah hal yang aneh atau ganjil. Dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya pesantren, memang dikenal dasar-dasar yang bisa dijadikan acuan untuk menghukumi sesuatu, termasuk PLTN. Dasar yang digunakan adalah kemaslahatan umat (maslahah mursalah) atau kesejahteraan umum

D. TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
Dari penelitian yang penulis lakukan, maka didaptkan beberapa tekuan-teuan ilmiah yang berkaitan dengan tema utama, di antaranya:
1. Pergeseran Makna Fatwa
a)Substansi Fatwa
Fatwa sering diartikan sebagai hukum yang ditetapkan oleh sebuah lembaga keagamaan, baik NU, Muhammadiyah maupun Majelis Ualam Indonesia (MUI). Tidak sedikit masyarakat yang memandang fatwa ini sebagai penerjemahan dari peraturan-peraturan keagamaan yang diyakini kebenarannya. Akibatnya ketika ada fatwa apapun fatwanya seperti fatwa keharaman menabung di Bank Konvensional oleh MUI misalnya, masyarakat merasa berkeawajiban untuk ikut serta merealisasikan dalam dunia perbankan di Indonesia.
Pengertian fatwa dalam perspektif hukum Islam, ada dua pengertian yakni lafdiyah maupun istilahi. Secara lafdziyah (gramatikal) fatwa berarti suatu perkataan dari bahasa Arab yang memberi arti pernyataan hukum mengenai sesuatu masalah yang timbul kepada siapa yang ingin mengetahuinya. Menurut kamus Lisan al-Arabi, Aftahu fi al-amri Abana Lahu (“Memberi fatwa tentang sesuatu perkara bererti menjelaskan kepadanya”).
Sepertimana Firman Allah s.w.t. di dalam Surah An-Nisa ayat 176
Maksudnya : Mereka (orang-orang Islam umatmu) meminta fatwa kepadamu (wahai Muhammad, mengenai masalah Kalalah). Katakanlah : Allah memberi fatwa kepada kamu dalam perkara Kalalah itu
Sedangkan dalam pengertian istilahi, fatwa berarte pendapat para ulama (mufti) yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam tentang aturan-aturan yang diinterpretasikan dari hukum-hukum Allah.
Imam Syatibi sebagaimana dikutif Wahbahmenyatakan:
Innal Mufti Qaimun maqaman Nabi SAW li annal ulama waratsatul anbiya yadullu alaihi al-haditsu syarif “lia annal ulama waratsatul anbiya, wal anbiyaa lam yuratsu dinaran wala dirhaman wa innama waratsul ilma. (Wahbah:1981)
(Artinya: Kedudukan Mufti di kalangan umat ialah pengganti tempat Nabi s.a.w. kerana Ulama’ itu mempusakai tugas para Nabi sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadis Rasulullah s.a.w. yang bermaksud : “Sesungguhnya Ulama’ itu adalah pewaris para Nabi dan Nabi tidak meninggalkan pusaka dinar dan dirham, tetapi mereka meninggalkan pusaka ilmu).
Fatwa berarti produk yang dihasilkan sedangkan orang yang mengeluarkan fatwa adalah mufti. Tidaklah sembarangan orang yang menjadi mufti, karena persyaratan mufti di antaranya memahami teks-teks inti dan klasik hukum Islam lainnya. Namun dalam pengertian hukum Islam, fatwa itu berbeda dengan hukum, karena fatwa itu bersifat mandiri sedangkan hukum bersifat kelembagaan.
Dalam Islam, ada semacam kebebasan berfatwa, yang memperlihatkan betapa diskursus agama memberikan ruang gerak bagi perbedaan dalam merumuskan fatwa. Setiap orang bebas memberikan pilihan kepada fatwa tertentu atau mencabutnya. Biasanya fatwa yang mendapat dukungan luas adalah fatwa yang isinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekaligus tetap dalam koridor kebenaran. Sementara itu, fatwa yang kaku dan jauh dari realitas kehidupan masyarakat tidak banyak diminati masyarakat, akibatnya fatwa-fatwa tersebut akan lenyap dengan sendirinya.
Dalam tradisi Islam, tak ada sebuah fatwa yang benar-benar diikuti oleh semua penganut Islam. Sebuah fatwa bisa saja dibantah oleh fatwa lain. Dalam kaidah hukum Islam, sejumlah fatwa tidak bisa saling membatalkan (al-ijtihâd la yunqadlu bi al-ijtihâd) (Zarqa, 1989:155). Hukum A tidak bisa dibantah dengan hukum b. Setiap fatwa hukum berlaku dengan sendirinya kepada orang. Inilah watak dari fatwa yang sesungguhnya.
Secara etimologi hukum berasal dari kata “al hukm” yang berarti ‘menetapkan’ atau ‘ketetapan’, ‘memutuskan’ atau ‘keputusan’ yang menetapkan sesuatu pada yang lain, seperti menetapkan hukum haram pada minuman yang memabukkan dan hukum halal pada air susu. Dalam istilah hukum islam, term lain seperti fiqh dan syari’ah sering digunakan.
Dua kata “hukum” dan “Islam” secara independen mempunyai arti yang berdiri sendiri, tetapi ketika disatukan akan membentuk satu istilah baru. Dalam al Qur’an dan As Sunnah maupun literatur Arab lainnya, tak satu pun ayat yang menyebut arti kata hukum Islam baik secara lafdziyyah maupun istilah. Justru term hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah yang dipakai oleh ilmuan barat “Islamic Law” (Coulson,1964:8).
Dalam wacana ilmu fiqh, para ulama hanya menggunakan term “al hukm” tanpa mengikutkan kata “al Islam”. Istilah al-hukm atau hukum islam mempunyai arti yang cukup distingtif antara ulama ushul (ushuli) dengan ulama fiqh (baca: fuqaha). Jumhur ulama ushul misalnya, mengartikan hukum sebagai:
خطاب الله تعالى المتعلق با فعال المكلفين بالاقتضاء او التخيير اوالوضع
Artinya: Khitab allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha (tuntutan, perintah atau larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab, syarat dan mani’) (al Amidi, 1981:I/49).


1.Fatwa PLTN Muria Jepara
a)PLTN Isu Aktual dan Politis
Proses rencana pembangunan PLTN di Indonesia cukup panjang. Tahun 1972, telah dimulai pembahasan awal dengan membentuk Komisi Persiapan Pembangunan PLTN. Komisi ini kemudian melakukan pemilihan lokasi dan tahun 1975 terpilih 14 lokasi potensial, 5 di antaranya terletak di Jawa Tengah. Lokasi tersebut diteliti BATAN bekerjasama dengan NIRA dari Italia. Dari keempat belas lokasi tersebut, 11 lokasi di pantai utara dan 3 lokasi di pantai selatan.
Pada Desember 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan agar BATAN melaksanakan studi kelayakan dan terpilihlah NewJec (New Japan Enginereering Consoltan Inc) untuk melaksanakan studi tapak dan studi kelayakan selama 4,5 tahun, terhitung sejak Desember 1991 sampai pertengahan 1996.
Pada 30 Desember 1993, NewJec menyerahkan dokumen Feasibility Study Report  (FSR) dan Prelimintary Site Data Report ke BATAN. Rekomendasi NewJec adalah untuk bidang studi non-tapak, secara ekonomis, PLTN kompetitif dan dapat dioperasikan pada jaringan listrik Jawa – Bali di awal tahun 2000-an. Tipe PLTN direkomendasikan berskala menengah, dengan calon tapak di Ujung Lemahabang,  Grenggengan, dan Ujungwatu.
PLTN adalah pembangkit tenaga listrik tenaga nuklir yang merupakan kumpulan mesin untuk pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan tenaga nuklir sebagai tenaga awalnya. Prinsip kerjanya seperti uap panas yang dihasilkan untuk menggerakkan mesin yang disebut turbin.
Reaktor nuklir sangat membahayakan dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Radiasi yang diakibatkan oleh reaktor nuklir ini ada dua. Pertama, radiasi langsung, yaitu radiasi yang terjadi bila radio aktif yang dipancarkan mengenai langsung kulit atau tubuh manusia. Kedua, radiasi tak langsung. Radiasi tak langsung adalah radiasi yang terjadi lewat makanan dan minuman yang tercemar zat radio aktif, baik melalui udara, air, maupun media lainnya (www:batan.go.id).
Ada beberapa bahaya laten dari PLTN yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kesalahan manusia (human error) yang bisa menyebabkan kebocoran, yang jangkauan radiasinya sangat luas dan berakibat fatal bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kedua, salah satu yang dihasilkan oleh PLTN, yaitu Plutonium memiliki hulu ledak yang sangat dahsyat. Sebab Plutonium inilah, salah satu bahan baku pembuatan senjata nuklir. Kota Hiroshima hancur lebur hanya oleh 5 kg Plutonium. Ketiga, limbah yang dihasilkan (Uranium) bisa berpengaruh pada genetika. Di samping itu, tenaga nuklir memancarkan radiasi radio aktif yang sangat berbahaya bagi nuklir sebagai sumber energi alternatif dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia memiliki cerita perjalanan yang panjang, mulai dari ditemukan hingga pemanfaatannya kini.
Betapa pentingnya PLTN dalam kehidupan masyarakat, baik manfaat dan madharatnya. PLTN menyangkut peri kehidupan masyarakat banyak. Apabila jadi dibangun, PLTN memberikan manfaat yang besar, sebaliknya apabila terjadi kerusakan PLTN, masyarakat juga yang akan menanggungnya. Inilah yang menjadikan PLTN menjadi isu strategis masyarakat Jepara.

b) PCNU jepara sebagai Mediator.
Masalah PLTN merupakan salah satu agenda yang cukup krusial tidak saja di negara-negara modern, tetapi juga negara Indonesia. Karena masalah PLTN tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi.
Sebagai agama yang universal, Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash mapun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong isu PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah penegakan kemaslahatan dan pemusnahan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat (Khallaf:1978)..
Aspek maslahat PLTN Muria diperkirakan mampu menanggulangi krisis energy berupa supply kebutuhan listrik Jawa-Bali sebesar 4%. Sedangkan mafsadah-nya bisa berdampak pada aspek lingkungan, ekologi, social, ekonomi dan politik.
Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama'ah yang memegang teguh prinsip tawassuth, i`tidal, tasamuh, dan tawazun (Maskub, 199:93), warga NU memilih untuk melakukan harmonisasi dalam semua bidang, dengan cara al-shidqu, al-amanah wa al-wafa-u bil al-`ahd, dan al-ta`awun. Dengan prinsip ini, maka sesuatu yang dianggap maslahat atau mafsadah perlu dipaparkan secara transparan. Maslahah yang sejalan dengan kepentingan umum perlu didukung melalui kerjasama dan pengembangan solidaritas umat. Sebaliknya, mafsadah yang mengancam tata kehidupan manusia harus dieliminasi.
Mengingat dalam PLTN Muria aspek maslahah dan mafsadah berkumpul, maka PCNU Jepara melakukan upaya mempertemukan kelompok yang pro (memandang maslahat pada PLTN) dan kelompok yang kontra (menolak PLTN) untuk mencari solusi yang win-win solution. Masyarakat butuh pedoman dalam menentukan sikap terhadap rencana pembangunan PLTN.

c) Munculnya Fatwa Haram PLTN
Pro-Kontra mengenai rencana pemerintah hendak membangun PLTN Muria di Ujung Lemah Abang Balong, mendorong Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara bekerjasama dengan Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Jawa Tengah, mengadakan mubahatsah (pembahasan), dengan melihatnya dari kacamata fikih. Rencana ini dipandang dari sisi kepentingan masyarakat Jepara secara khusus, sebagai sebuah masalah waqi’iyyah atau masalah yang terjadi dalam konteks lokal Jepara dan sekitarnya (Abshor:2008).
Masalah PLTN MURIA ini tidak hanya menyangkut masalah energi, tapi juga melibatkan aspek lingkungan, ekologi, sosial, politik dan ekonomi. Sebagai agama yang syaamil (meliputi berbagai aspek kehidupan) dan kaamil (sempurna secara keseluruhan), Islam diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai PLTN Muria melalui penelusuran norma-norma Islam, baik dalam bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat dalam nash maupun pengalaman historis masyarakat Islam, agar penanganan masalah PLTN Muria tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan.
Untuk meneropong masalah PLTN Muria dengan kompleksitas persoalannya, prinsip yang menjadi acuan adalah menegakkan kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan. Dari prinsip ini, maka kebijakan yang menyangkut tentang hajat hidup umat, baik yang dlaruriyyat (kebutuhan primer), hajiyyat (kebutuhan sekunder) maupun tahsiniyyat (kebutuhan tersier atau kemewahan) harus mengakomodir tiga domain utama, yakni (1) domain tata kehidupan;  (2) domain pemenuhan kebutuhan; dan (3) domain kesesuaian dengan syari'ah.
Maslahat dan mafsadah dalam konteks ini, yang menjadi acuan hukum adalah yang muhaqqaqah atau nyata, bukan yang mauhumah atau hanya praduga.
Setelah mempertimbangkan berbagai argumentasi dari para pakar, baik yang pro maupun kontra, dan dengan berpegang teguh pada ajaran ahlussunnah wal jama’ah, prinsip tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, al-shidqu, al-amanah, dan al-wafa-u bil al-‘ahd, maka forum mubahasah memutuskan:
(1)Pembangunan PLTN Muria haram hukumnya.
(2)Yang berkewajiban menghentikan adalah pemerintah dan seluruh warga mayarakat, sesuai dengan porsi masing-masing.


E. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan antara lain:
Pertama, adanya pergeseran pemaknaan terhadap Fatwa. Fatwa yang pada mulanya tidak mengikat, belakangan fatwa menjadi mengikat secara moral bagi masyarakat.
Kedua, secara hukum, fatwa itu adalah bagian dari hukum Islam yang dikembangkan di kalangan nahdliyyin, sehingga hasilnya bisa digunakan sebagai panduan dalam menjalankan ibadah sehari-hari.
Ketiga, dalam pembutan fatwa hukum tidak bisa lepas dari situasi konteks sosial dan politik. Hal ini disebabkan kriteria bahwa hukum itu sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan.**