Total Tayangan Halaman

Selasa, 18 Desember 2007

Perlukah Perda Syariah ?

PERLUKAH PERDA SYARIAH?

Peraturan Daerah berbasis Syariat Islam atau biasa disebut Perda Syariah belakangan ini muncul di berbagai daerah di pelosok negeri ini. Tidak hanya di Aceh Darussalam yang secara umum menggunakan UU Nanggroe Aceh Darussalam, yakni menerapkan sebagian Syariat Islam khususnya yang berkaitan dengan ibadah mahdhah dan pemberantasan segala bentuk kemaksiyatan. Tetapi di daerah-daerah Sumatera, Sulawesi bahkan di Jawa juga muncul berbagai perda Syari’at.
Hingga saat ini ada empat belas Kabupaten/Kota yang telah meloloskan Perda Syariat sebagai produk hukum yang harus ditaati oleh masyarakat. Di antara daerah-daerah itu antara lain: (1) Kota Tangerang, ada Perda No.8 tahun 2005 tentang pelarangan, mencurigai, dan menangkap perempuan di tempat umum karena diduga melacur. (2) Kabupaten Pamekasan Jawa Timur, Surat Edaran Bupati Nomor 450 tahun 2002 tentang kewajiban memakai jilbab bagi karyawati serta baju koko bagi karyawan muslim di hari Jumat. (3) Kab Maros Sulsel, perda Desember 2005 tentang kewajiban ujian baca tulis Al-Qur’an bagi siswa SD-SMU yang akan mengikuti ujian akhir, serta karyawan PNS yang akan naik golongan. (4) Kab Indramayu Jawa Barat, kewajiban menggunakan jilbab, baju koko dan kopiah di hari Jumat bagi seluruh pegawai pemerintah daerah. Peraturan ini dimulai pada hari jadi kota Indramayu ke 475 tahun 2001. (5) Kota Padang, Instruksi Walikota No. 451.422/Binsos-III/ 2005 tentang kewajiban jilbab dan busana muslimah bagi karyawan yang beragam Islam dan imbauan memakainya bagi non-muslim.
Bagi sebagian kaum muslimin, keberhasilan mengegolkan perda Syariat ini merupakan kemenangan umat Islam dalam masyarakat plural di Indonesia. Sebaliknya bagi kaum muslimin yang tidak setuju, upaya pemberlakuan Syariat Islam itu justru akan membatasi upaya pribuimisasi Islam di Indonesia. Wal hasil maraknya perda Syariat Islam justru mensisakan pro dan kontra di kalangan umat Islam sendiri.
Bagi kelompok pertama, berlakunya perda Syariat Islam merupakan pengulangan sejarah (relaksasi sejarah), yakni hasil perjuangan panjang umat Islam Indoensia sejak awal kemerdejkaan di mana sejarah mencatat ada piagam Jakarta.[1] Piagam Jakarta tinggal kenangan tetapi semangat Piagam Jakarta senantiasa menjadi visi utama bagi setiap prilaku politik kaum muslimin doi Indonesia.
Di samping itu, pemberlakuan perda Syariat juga merupakan kemenangan politik umat Islam di mana peraturan bernuansa Islam diberlakukan menjadi hukum positif yang berlaku bagi seluruh masyarakat.[2] Meski hanya peraturan daerah tetapi secara politis berpengaruh dalam berbagai kehidupan politik masyarakat muslim. Hal ini bias difahami karena perjuangan Islam akan terus berlanjut hingga suyariat Islam nbisa diwujudkan secara kaffah di bumi Indonesia ini.[3]
Berbeda dengan kelompok pertama yang mendukung perda Syariat, kelompok kedua ini justru pesimis dengan lolosnya berbagai perda Syariat sebagai hukum positif di negeri yang plural ini. Kelompok ini memandang bahwa NKRI adalah bentuk final negara Indonesaia. Konsekwensinya dasar negara Pancasila dan UUD 1945 menjadi acuan utama dalam perikehidupan dan prilaku politik seluruh bangsa Indonesia, termasuk kaum muslimin yang menjadi kelompok mayoritas di Indonesia.
Upaya memberlakukan Syariat Islam sebagai hukum positif merupakan imaginasi negara Islam Indonesia. Karena pemberlakuan Syariat Islam mengidealkan sebuah negara yang mengacu pada hukum yang ada dalam system hukum Islam. Secara teoritik relasi syriat Islam dengan negara Islam dijelaskan oleh Javid Iqbal bahwa negara Islam memiliki tiga unsure epnting, yakni (1) masyarakat muslim, (2) hukum Islam atau Syariat Islam, dan (3) khalifah.[4] Apabila tiga unsur ini bisa dipenuhi, maka tidak mustahil Indoensia bias menjadi negara islkam. Sangat irinis, sebuah negara yang didirikan founding fathers dengan nuansa pluralisme, harus berpecah belah karena perbedaan keyakinan dan agama.
Apabila kita cermati konteks politik hukumnya, penerapan Syariat Islam di berbagai daerah menjadi hukum publik, merupakan fenomena menarik dalam wacana pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Paling tidak ada dua hal yang perlu dielaborasi lebih jauh dalam rangka menganalisis maraknya pemberlakuan Syariat Islam sekarang ini. Pertama mengkaji ulang relasi agama dan negara yang cocok bagi perkembangan hukum Islam kontemporer.[5] Kedua karakter politik hukum Islam di Indonesia pasca reformasi.[6] Bukankah reformasi di Indonesia membuka berbagai kajian menarik atas berbagai aspek kehidupan seperti idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum sosial?
Hubungan agama dan negara yang semula substantive paradigm, di mana Islam menjadi sumber persuasive dalam perkembangan hukum di Indonesia, mengalami pergeseran pemaknaan. Islam tidak lagi sebagai persuasive source tetapi juga dipaksakan untuk menjadi authoritative source. Hal ini bias dilihat dari berbagai kelompok masyarakat yang menggemakan system khilafah yang diintrodusir dari zaman Islam abad pertengahan. Dengan system khilafah tersebut, meniscayakan terbentuknya negara yang berdasarkan ada Al-Qur’an dan Hadits atau teks ajaran Islam lainnya.
Akibatnya banyak umat Islam yang memandag perkembangan Islam sekarang ini sebagai moment yang tepat dalam rangka merealisasikan Syariat Islam secara egaliter. Syariat Islam bukan lagi menjadi momok bagi para petinggi negara, bahkan di beberapa daerah banyak eksekutif maupun legislative yang mayoritas diisi oleh kelompok muslim militan. Untuk itu bukanlah sesuatui yang susah untuk emenggolkan aturan aturan yang bernuansa Syariat.[7]
Persoalan kedua yang perlu dielaborasi adalah karakter politik hukum Islam di Indonesia pasca reformasi. Dalam pandangan Moh Mahfud MD, karakter produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang melahirkannya. Untuk itu karakter produk hukum pasca reformasi tidak lepas dari konfigurasi politik yang mengitarinya. Munculnya tokoh-tokoh baru baik dalam legislative amupun eksekutif sangat menentukan arah pembangunan hukum di newgeri ini. Tidak sedikit tokoh-tokoh muda yang berlatar belakang kampus sekuler justru mempunyai ghirah yang tinggi dalam merealisasikan formalisasi Syariat Islam dalam setiap perilaku politiknya.
Konteks politik pasca reformasi, sangat bepengaruh dalam pembangunan hukum Islam di Indonesia. Munculnya semangat resurgensi Islam sebagaimana disinyalir John Esposito, sebagai respon atas ketidak sukaan masyarakat muslim terhasdap praktek-praktek politik barat pasca reformasi, menyebabkan perkembangan hukum Islam menjadi lebih dominan.
Untuk itu, penelitian ini akan menguraikan latar belakang munculnya berbagai perda Syariat Islam, proses penetapan Perda Syariat Islam tersebut, serta implikasi perda Syariat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Secara teoritik posisi hukum Islam dalam pembaharuan hukum di Indonesia, memiliki dua model pendekatan: persuasive source dan authoritative source.[8] Persuasive source menjadikan hukum Islam sebagai landasan bagi pembangunan hukum Islam di Indonesia. Hukuman mati yang diintrodusir dari hukum qishash misalnya, secara umum dianggap melanggar HAM, belakangan dimasukkan dalam UU Pidana di Indonesia. Melalui nalar hukum Islam qishash yakni mati dibalas mati, dapat diterima di masyarakat hukum Indonesia.
Sementara authoritative source berarti memformalkan hukum Islam sebagai hukum positif idi Indonesia. Salah bsatu contohnya adalah UU No.4 tahun 1970 tentang perkawinan yang sebagian besar diambil dari kitab-kitab fiqih. Meski terdapat berbagai kekurangan, UU Perkawinan ini tetap menjadi rujukan bagi umat Islam yang mencari keadilan di negeri ini. Hanya saja secara kuantitatif, UU ini hanya mengatur sebagian kecil perilaku kehidupan umat Islam.
Formalisasi Syariat Islam lewat perda tidak bisa lepas dari tipr authoritative source. Di mana hukum Islam secara tekstual diundangkan menjadi hukum positif di Indonesia. Konsekwensinya hukum Islam tidak saja sebagai hukum ideal (given law) tetapi hukum Islam bermetamorfosis menjadi hukum negara (state law). Sebagai state law, harus dimodifikasi sesuai dengan berbagai peraturan hukum yang berlaku.
Meminjam istilah John L Esposito, hukum Islam di Indonesia sedang mengalami-- religious resurgence (kebangkitan Islam).[9] Melalui berbagai perda Syariat, umat Islam melakukan test case atas kemungkinan formalisasi Syariat yang lebih besar. Bahkan bagi R William Lidle, keterbukaan dan kebebasan mendorong berkembangnya pemahaman Islam yang skripturalis. Hal ini karena pendekatan Islam skripturalis lebih mudah diterima oleh kaum muslim awam. Pendekatan ini tidak banyak melakukan tafsir ataui interepretasi sehingga memudahkan bagi kaum awam untuk terlibat dalam pergumulan Islam skripturalis.[10]
Penelitian tentang formalisasi Syariat Islam telah dilakukan oleh Marzuki Wahid dalam buku Fiqh Madzhab Negara. Penulis berkesimpulan bahwa Kompilasi Hukum Islam yang disyahkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) tahun 1990 merupakan salah satu produk hukum yang dipengaruhi oleh politik hukum pada saat orde baru berkuasa. Meski secara materiil diambil dari fiqih-fiqih klasik, tetapi untuk bisa dipakai oleh masyarakat secara formal harus melalui keputusan politik, yang pada saat itu melalui sebuah Inpres. Oleh karena itu Marzuki berkesimpulan bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah Fiqh yang ditetapkan oleh negara. Marzuki menyebutnya sebagai Fiqh Madzhab Negara.
Logika Marzuki berkesimpulan bahwa Kompilasi Hukum Indonesia bisa berlaku bagi masyarakat manakala sudah diformalkan dalam bentuk keputusan politik negara. Terlepas dari cocok atau tidknya seperangkat hukum Islam tersebut dengan masyarakat pengguna fiqh tesebut. Pada akhirnya kekuatan hukum Islam terletak pada kekuatan negara.
Sesungguhnya logika Marzuki tetap berlaku, namun dalam kasus Perda berbasis Syariat, nuansa lokalitas sangat dominan, sehingga tidak ada lagi unifikasi Syariat Islam. Syariat Islam yang pada mulanya bermaksa substansial sebagai cita-cita hukum ideal, tereduksi menjadi hukum Islam lokal. Bahkan di beberapa daerah Syariat Islam dijadikan sebagai sub dari hukum Islam.
Untuk itu, maraknya perda berbasis Islam sekarang ini, satu sisi menjadi sebuah kemenangan kelompok Islam, tetapi di sisi lain maraknya perda Syariat tersebut menjadi momok bagi para penegak hukum karena berimplikasi pada pudarnya konsep pluralitas bangsa Indonesia. Dua kemungkinan itu akan terus bertentangan bila dikaitkan dengan upaya-upaya pribumisasi Islam atau mengembangkan faham Islam yang humanis. Islam tidak harus diformalkan, tetapi nilai-nilai Islam harus bisa dijadikan inspirasi bagi pembangunan hukum di Indonesia.
Oleh karena itu penelitian ini bermaksud mengetahui latar belakang, proses penetapan dan implikasi Perda Syariat dalam kehidupan umat Islam sekarang ini.
[1] Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara RI, 1995, 216-218.
[2] Adian Husaini, Syariat Islam di Indonesia : Problem Masyarakat Muslim Kontemporer, Tashwirul Afkar, edisi No.12, tahun 2002.
[3] Siaran Pers berjudul “Rakyat Aceh Dikhianati Durahman Wahid”, Risalah Mujahidin, edisi 2/21 Desember 2000, hlm. 1-2.
[4] Javid Iqbal, Demokrasi dan Negara Islam Modern, dalam John L Esposito, Dinamika Kebangkitan Islam: Watak, Proses dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm. 321-322.
[5] Bahtiar Effendy , Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998., Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1990. , Munawir Syadzali, Islam Kosong Sistem Politik, dalam Pesantren, Vol VI, No.3 1989.. Juga lihat Abdurrahman Wahid, Prisme Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKIS, 1999, hlm. 33-35.
[6] Untuk soal Politik Hukum di Indonesia baca Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998., dan Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LkiS, 2001.
[7] Baca Azyumardi Azra, Prof. Dr., Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Kompas, 2002, hlm. 29.
[8] Lihat Rahmat Djatnika, Dr., Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Bulan Bintang, 1993., hlm. Iii-v
[9] Pengantar John Esposito “Islam dan Politik Muslim” dalam John L Esposito, Dinamika Kebangkitan Islam: Watak, Proses dan Tantangan (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hlm. 14.
[10] R William Lidle, Skripturalisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik IslamMasa Orde Baru, dalam Mark R Woodward (ed) Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Cet I (Bandung : Mizan, 1999) hlm. 2.

Kamis, 13 Desember 2007

Sejarah Perang dalam Sejarah Islam

ABSTRAK
Seorang orientalis kenamaan, Edmund Bosworth, menyatakan bahwa umat Islam identik dengan umat yang suka perang dan haus darah. Pernyataan ini tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Hal ini didasarkan pada sejarah umat Islam sejak abad VIII hingga XVII M yang dihiasi dengan peristiwa perang dan pertikaian baik inter kaum muslim maupun antara kaum muslim dengan kelompok non-Islam. Begitu juga dalam pandangan normatif, perang merupakan salah satu ajaran agama yang diatur dalam kitab suci Al-Qur’an. Sebagai kontribusi dalam persoalan-persoalan fiqh siyasah (ilmu politik), studi ini mengkaji bagaimana pelaksanaan perang pada masa al-khulafâ al-râsyidûn.
Kategori studi ini merupakan library researh dan historical research, sedangkan pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi dan penelaahan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan sejarah. Metode analisis data menggunakan historical analysis dan content analysis, sedangkan pemaparan studi menggunakan metode diskriptif.
Sebagai sumber ajaran Islam, Al-Qur’ân memuat aturan-aturan umum tentang perilaku manusia termasuk aturan berperang. Ayat-ayat perang yang tercantum dalam Al- Qur’ân dilatar belakangi konteks sosial politik, di mana komunitas Nabi mengalami tekanan dan didholimi oleh komunitas lain. Oleh karena itu perang harus ditegakkan dalam rangka melindungi komunitas muslim dari perlakuan yang tidak adil dari komunitas lainnya. Sebagaimana ajaran Islam lainnya, semisal qishâsh, potong tangan dan rajam, Al- Qur’ân hanya mengatur prinsip-prinsip perang yang bersifat universal.
Peperangan yang terjadi selama masa al-khulafâ al-râsyidûn dilaksanakan dalam rangka mempertahankan negara Islam Madinah. Perang pada masa Abû Bakar dialamatkan kepada mereka yang keluar dari kekhalifahan Abû Bakar, yakni mereka yang menolak membayarkan zakat. Sementara pada masa ’Umar bin Khattâb sistem dan kelembagaan perang ditata sedemikian rupa. Perang dilakukan oleh tentara murtaziqah (digaji) dan tentara mutatowwiah (sukarela), sementara di pemerintahan ada Departemnen Tentara (dîwân al-jund) dan Departemen Kepolisian (dîwân al-ahdats).
Begitu juga dengan era ’Utsman bin Affan yang banyak melakukan perombakan pimpinan perang. Pergantian pimpinan perang didasarkan pada penyeragaman visi kenegaraan yang dibangun oleh keluarga ’Utsman. Tak ketinggalan pada masa ’Ali bin Abû Thâlib, peperangan dilakukan untuk meredam konflik internal antar sesama kaum muslimin. Perang jamal dan perang siffin misalnya, dilakukan dalam rangka menumpas gerakan oposisi yang dilakukan oleh kaum muslimin yang tidak setuju dengan pemerintahan ’Ali bin Abû Thâlib. Jelasnya perang dilakukan dengan mengedepankan prinsip kenegaraan, bukan untuk penyebaran idiologi ke-Islaman.
ABSTACT
A celebrated orientalist, Edmund Bosworth states that Islamic community is bellicose and bloodthirsty. This statemen is neither right nor wrong. The history of Islamic community since the eighth to seventeenth century was full of battle and conflict among muslim and non-muslim. Beside from the normative point of view of the battle is one religious teaching regulated by Qur’an. For the benefit of making a contribution to Islamic political science, this study will try to explore how the battle and conflict took place in the caliph era.
This study constitutes library research and historical research. Data are gathered through documentation and observation. This research employs normative and historical approaches. The data will be analysed in the contet and the historical analyses whereas the data will be explained in discriptive writing.
As the main source of Islamic teaching, Qur’an regulated general muslim action including war. Verses of war mentioned in Qur’an have own socio political background in which the muslim community has been pressured and ill treated by other community. Due to the reason a war should be launched to protect them from injustice treatmen of other. Liker other regulationof retalitation, cutting hand and killing by stone, Qur’an regulates solely general principles of war.
The battle took place in the caliph era to protect (Islamic) Madinah state. Abu Bakar, the first caliph warred againt some muslims denying of giving religious tax to the state. Umar the second reorganised the battle institution and the war system professionally. In his era there were two kind of soldiers going to war namely professional (murtaziqah) and volunteer (mutatowwiah). The were also separation of army and police departments in the second caliph era.
Utsman bin Affan, the third replaced many commander of army (war). The replacement of the commander was oriented to unite statemenship visions among army founded by Utsman’s royal family. In Ali bin Abu Thalib era, the last Caliph the bettle was declared to stifle internal conflict among muslim community. The battle of Jamal and of siffin, for instance were declared to annihilate opposing movements. From historical accounts it is clear thet the battle in the caliph era is motivated by political reason instead of religious reason.